Negara Republik Indonesia adalah negara hukum
dimana hal ini dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 1 ayat (3)
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Di Pasal 1 ayat (2) “Kedaulatan
berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Artinya kedaulatan berada di tangan rakyat dan segala sikap tindakan yang
dilakukan ataupun diputuskan oleh alat negara dan masyarakat haruslah
didasarkan pada aturan hukum.
Kedaulatan berada ditangan rakyat ini juga bisa
disebut dengan kepastian akan perlindungan rakyat dari pemerintah sebagai abdi
rakyat. Lalu bagaimana dengan hubungan Asap dan perlindungan pemerintah kepada
rakyat melalui Undang-Undang sebagai perwujudan hukum?. Rakyat Indonesia
mempunyai Hak perlindungan mengenai mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat
(Baca: Mendapatkan hak menghirup Udara yang sehat) serta berhak mendapatkan
pelayanan kesehatan, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal
28 H ayat (1) “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Perlindungan lain juga diatur dalam
Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Pasal 1 “Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain”. Lebih lanjut, penegasan tentang perlindungan
akan udara yang sehat bagi rakyat adalah, Pasal 3 huruf b “menjamin
keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia”. Hal senada juga diatur
dalam Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 9 ayat
(3) “setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”.
Lebih terang dalam UU Hak Asasi Manusia, semua perlindungan itu dibebankan
kepada pemerintah, seperti yang termuat dalam Pasal 8 “Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung
jawab Pemerintah”.
Begitu banyak atau masih kurang peraturan
perundang-perundangan yang mensyaratkan bahwa pemerintah harus melindungi
rakyat dari lingkungan yang tidak sehat ? (Silahkan dijawab sendiri).
Terlepas dari pertanyaan apakah Undang-Undang itu efektif melindungi rakyat,
tulisan ini tidak mengarahkan kesana namun lebih melihat daripada fakta yang
terjadi saat ini. Anak-anak mulai terganggu kesehatannya, sekolahpun akan
diliburkan. Media-media mulai ramai memberitakan tentang suatu bencana, sesuatu
yang menggangu dan menghalangi manusia untuk beraktivitas. Sesuatu partikel
jika dilihat akan membuat pedih mata dan jika dihirup akan membuat sesak nafas.
Ya...benda itu berwarna putih bukan kabut embun kala pagi namun kabut asap
hasil pembakaran hutan dan lahan. Sisklus tahunan yang tidak pernah berhenti
dan semuanya tetap menjadi misteri dari anggaran antisipasi (Baca : Spanduk
pinggir jalan) pembakaran apalagi bentuk rehabilitasi bagi mereka yang
sakit. Sangking mesterinya alat control atas udara sehat di Kota Cantik
Palangka Raya ini dibiarkan usang dan tak bermakna disudut bundaran besar
kebanggaan Kalimantan Tengah.
Saya sepakat dengan pendapat dari seorang kawan
yang mengeluhkan kawan-kawan yang lain dalam mengeluh bahwa menghadapi dampak
pembakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah tidak cukup hanya mengeluh.
Namun saya berbeda pandangan dengan kawan tersebut bahwa kita tidak boleh
membawa nama pemerintah dalam kejadian ini, walau saya tidak menyarankan untuk
mengutuk karena jatuhnya akan keluhan juga. Lalu bagaimana yang seharusnya ?
sekali lagi saya tidak ingin menjawabnya walaupun saya memberikan pertanyaan
dan selalu akan diakhiri silahkan jawab sendiri (egois).
Padangan lain : jika tulisan ini diawali dengan
kata-kata mengenal Konstitusi maka tulisan inipun akan lari kesana (ye..
ketebak arahnya, garing). Dalam tatanan hukum Indonesia, rakyat selain
mendapatkan perlindungan untuk mendapat udara yang sehat, rakyat juga diberi
hak untuk melakukan Komplain (silahkan keberatan jika salah dalam penulisan).
Komplain atau keberatan disini lebih dikenal dengan istilah gugatan. Jika
kawan-kawan GAAS (gerakan anti asap) telah memposting tentang ihwal gugatan
yaitu nama anehnya Class Action, Citizen Lawsuit serta Legal Standing dan mohon
sampaikan kealamat jalan Temanggung Tandang No.026 Palangka Raya (sekalian
promosi..yuk, mari). Sekedar mengolah kata namun tetap pada jalur subtansi
mari mengenal nama-nama aneh tersebut dan menyatukanya dalam hak mendapatkan
udara sehat.
Class Action
Pertama kali (menurut tesis yang saya baca,
biar kelihatan....) Class Action atau CA, diakui oleh Hukum Indonsia yaitu
termaktub dalam Pasal 37 Undang-Undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Pasal 37 ini mengatur tiga hal, yaitu : 1. Hak mengajukan
gugatan secara perwakilan (CA), 2. Hak masyarakat mengajukan laporan mengenai
permasalahan lingkungan hidup,3.Representative standing bagi instansi
pemerintah yang bertanggung jawab dibidang lingkungan hidup untuk bertindak
atas nama masyarakat.
Sedangkan Definisi Class Action menurut PERMA
(Peratutan Mahkamah Agung) No.1 Tahun 2002 merumuskan Gugatan Perwakilan
Kelompok (Class Action) sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan , dimana satu
orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya
sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak , yang
memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan
anggota kelompoknya. Lebih lanjut tatacara gugatan CA dijabarkan dalam PERMA
tersebut.
Selanjutnya dalam pembaruan Undang-Undang
Pengelolaan Lingkungan Hidup No.23 tahun 1997, diperbaharui dengan
Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Class Action diatur dalam Pasal 65 ayat (5) “Setiap orang berhak
melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup”. Lebih khusus diatur dalam Pasal 91 ayat (1) “Masyarakat berhak
mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri
dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”. Ayat (2) “Gugatan dapat
diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta
jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya”.
Legal Standing
Hak Gugat Organisasi (Standing NGO's) pertama
kalinya diakui dalam praktik peradilan di Indonesia pada tahun 1988, ketika
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima gugatan Yayasan Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (WALHI) kepada lima instansi pemerintah dan PT Inti Indorayon
Utama. Pada tahun 1997, dilatarbelakangi oleh putusan hakim dalam kasus WALHI
melawan lima instansi pemerintah dan PT IIU, pengakuan atas hak gugat
organisasi dimasukkan dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang. Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup). Pasal 38 UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup ayat (1) : Dalam rangka pelaksanaan tanggung
jawab pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi
lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
Perkembangan selanjutnya adalah diterimanya
gugatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melawan negara RI cq Menteri Dalam
Negeri cq. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi DKI Jakarta Dkk pada tahun
2002. pertimbangan hukum Majelis Hakim Jakarta Pusat dalam Putusan Nomor
212/Pdt.G/2002/PN.JKT.PST : Bahwa kendati pun perundang-undangan kita baru
mengakui dasar hukum pengajuan Hak Gugat Organisasi atau legal standing pada
bidang-bidang tertentu, namun menu rut majelis tidaklah dapat diartikan bahwa
Hak Gugat Organisasi dalam bidang hukum lain tertentu.
Artinya, dalam kasus-kasus yang menyangkut bidang
hukum lain, terbuka peluang bagi organisasi atau kelompok tertentu mengajukan
permohonan melalui legal standing, asalkan pengajuannya memenuhi syarat-syarat
dan kriteria-kriteria hukum yang layak menurut pengadilan;
Legal
standing dalam Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, diatur dalam Pasal Pasal 92 :
Ayat (1)
“Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup”.
Ayat (2)
“Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan
tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
Ayat (3)
“Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi
persyaratan:
a. Berbentuk badan hukum;
a. Berbentuk badan hukum;
b. Menegaskan di dalam anggaran
dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian
fungsi lingkungan hidup; dan
c. Telah melaksanakan kegiatan nyata
sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.
Citizen
Law Suit
Hak Gugat Warga Negara (Citizen Law Suit) secara
praktek telah lama berkembang di berbagai negara, khususnya dalam sistem hukum
Amerika, India, dan Australia. Citizen law suit adalah akses orang perorangan
warganegara untuk kepentingan keseluruhan warganegara atau kepentingan publik,
termasuk kepentingan lingkungan mengajukan gugatan di pengadilan guna menuntut
agar pemerintah melakukan penegakan hukum yang diwajibkan kepadanya atau untuk
memulihkan kerugian publik yang terjadi.
Prosedur pengajuan permohonan citizen law suit
secara khusus belum diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Pertama kalinya, prosedur permohonan citizen law suit diterima oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dan telah memiliki kekuatan hukum tetap dalam perkara
perdata Nomor: 28/Pdt.G/2003/PN.JKT. PST, yang diputus 8 Desember 2003 antara
J. Sandyawan Sumardi dan kawan-kawan (sebanyak 53 orang) sebagai Pemohon melawan
Negara Republik Indonesia c.q. Kepala Negara, Presiden Republik Indonesia
Megawati Soekarnoputri sebagai Tergugat (termasuk sembilan institusi pemerintah
lainnya). Perkara itu berkaitan dengan pendeportasian 480 ribu warganegara
Republik Indonesia oleh pemerintah Malaysia yang menjadi buruh migran di
Malaysia. Perkara ini dikenal dengan sebutan citizen law suit Nunukan.
Ada istilah “Tak kenal maka tak sayang” dari
sinilah tulisan ini menjadi alasan kuat untuk ditulis, selain membagikan
informasi untuk publik dan diri sendiri. Pada prinsipnya pemerintah melindungi
rakyatnya dan rakyat sebagai pemegang kedualatan mempunyai hak untuk memastikan
pemerintah berjalan sesuai alur hukum. Perlindungan dan hak gugat mempunyai
satu kesatuan yang mesti harus diterima dan dijalankan oleh rakyat. Memahami
persoalan hukum tidak meski harus kuliah di fakultas hukum sendiri, karena
informasi begitu mudah untuk diakses pada era sekarang. Bagi mahasiswa hukum
tentunnya sangat keterlaluan tidak memahami tujuan dan fungsi hukum sendiri. Rakyat
yang sadar hukum akan menuju ketertiban dan rakyat yang tidak mengetahui hukum
akan menjadi pintu masuk penindasan. Tulisan ini pasti tidak akan
memastikan bahwa setelah membacanya menimbulkan pemahaman yang sangat mendalam,
karena sifat tulisan ini sebagai pengantar untuk kita belajar dan memilih.
Rakyat telah dijamin haknya, bahkan dalam
Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup Pasal 66 “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara
perdata”.
Setelah pembaca mengenal lalu gunakan hak pilih
anda !!! (bukan kampanye pemilukada lo, namun kampanye asap).
Palangka Raya, 5 September 2015