Edisi
Rangkuman Buku I[1]
Pemberontakan
Petani Banten 1888
Prof.
Sartono Kartodirdjo
Seperti judul bukunya
Pemberontakan Petani Banten 1888 yang ditulis oleh Prof.Sartono Kartodirjo ini
merupakan hasil Disertasi beliau untuk mendapatkan gelar Doktor Ilmu Sejarah di
Universiteit Van Amsterdam tahun 1966. Judul asli Disertasi beliau adalah The Peasants’ Revolt Of Banten In 1888 : Its
Conditions, Course And Sequel, A Case Study Of Social Movements In Indonesia.
Disertasi yang dijadikan buku
ini diterbitkan oleh Komunitas Bambu di Depok pada bulan Februari 2015 dengan
tebal halaman 424. Rangkuman buku ini tidak akan memuat semua Bab yang dalam
buku namun lebih menekankan kepada intisari, serta pengetahuan-pengetahuan yang
menurut penulis penting untuk dituliskan kembali.
Prakata
Tujuan utama kajian ini
adalah membahas aspek-aspek tertentu dari gerakan sosial yang melibatkan
sejumlah lapisan luas rakyat biasa di Indonesia. Dalam histografi Indonesia,
pembahasan pokok persoalan semacam ini masih jarang. Satu-satunya contoh yang
luar biasa adalah analisis Schrieke mengenai Komunisme di Pantai Barat Sumatera
(Schrieke, 1959, hlm.85-166). Seperti Schrieke, saya membatasi pembahasan saya
pada satu gerakan spesifik di satu daerah spesifik. Saya telah mempelajari
pemberontakan Banten tahun 1888 dengan latar belakang masyarakat Banteng abad
Ke-19 dan, terkait dengan kebangkitan kembali agama yang dibahas dalam Bab V,
di dalam kerangka gerakan keagamaan pada umumnya di Jawa abab Ke-19. Di harapkan karya ini hanya akan
menandai awal kegiatan study semacam ini dan mungkin akan digunakan sebagai
contoh dalam riset gerakan sosial dimasa-masa mendatang. Dengan
demikian, kita berharap bisa mendapatkan pemahaman lebih baik mengenai berbagai
implikasi di bidang ekonomi, sosial, politik dab budaya dari dampak dominasi
Barat terhadap masyarakat tradisonal Indonesia disatu pihak, dan mengenai peran
rakyat biasa dalam pembentukan sejarah Indonesia di pihak lain.
Bab
I Pengantar
Pemberontakan pada 1888
yang dibahas dalam studi ini terjadi di distrik Anyer, ujung barat Pulau Jawa.
Pemberontakan ini hanyalah salah satu diantara serentetan pemberontakan yang
terjadi di Banten selama abad Ke-19.
Sebagai pergerakan sosial,
semua pemberontakan yang terjadi di Jawa tidak menunjukan ciri-ciri modern,
seperti organisasi, ideologi-ideologi modern, dan agitasi seluruh Negeri.
Sebagian besar pemberontakan petani bersifat lokal dan tak terkait satu sama
lain. Para petani tidak mengetahui apa yang mereka perjuangkan. Mereka
mempunyai keinginan yang samar untuk mengulingkan pemerintah, tetapi tidak
sadar bahwa mereka sedang mengambil bagian di dalam suatu pergerakan sosial
yang revolusioner.
Istilah “pemberontakan
petani” (Peasant Revolt) memerlukan
beberapa penjelasan. Istilah ini tidak berarti bahwa para partisipannya terdiri
dari petani semata-semata. Sepanjang sejarah pemberontakan petani, pemimpinnya
jarang sekali berasal dari petani biasa. Mereka berasal dari kelompok penduduk
pedesaan yang lebih berada dan lebih terkemuka. Mereka adalah pemuka agama,
anggota-anggota kaum ningrat atau orang-orang yang termasuk golongan penduduk
desa yang terhormat. Jadi, status
mereka meringankan beban tujuan suatu pergerakan dan dapat berfungsi sebagai
pusat identifikasi simbolis. Akan tetapi tidaklah benar untuk
menyimpulkan bahwa kaum tani tidak memainkan peran apapun dalam sejarah
Indonesia. Dan tidak benar bahwa mereka bersikap masa bodoh, selalu penurut dan
pasrah kepada nasib. Huru-hara dan pemberontakan petani terjadi berulang-ulang
menjadi endemis sosial dalam sejarah Jawa abab Ke-19. Hal ini memberikan bukti
tentang peranan historis yang dimainkan oleh kelompok petani.
Bab II. Latar
Belakang Sosio-Ekonomi
Daerah peristiwa
dan Faktor-Faktor Ekologis yang relevan
Banten
terletak di bagian paling barat Pulau Jawa memiliki 114 mil persegi. Keadaan
penggarapan tanah berkaitan dengan kepadatan penduduk yang kemudian sangat
bergantung pada lingkungan fisik. Banten dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
selatan dan utara.
Kesultanan Banten
didirikan pada 1520 oleh kolonis dari kerajaan Demak di Jawa Tengah dan
dihapuskan oleh Daendels pada 1808 meliputi area pesisir utara sebagai pusat
daerahnya, sedangkan Bogor dan Jakarta, serta Lampung di Sumatera bagian
selatan. Sunda-Bantam sebagai disebut oleh para pengelana Portugis-sejak zaman
dahulu menjadi pusat perdagangan lada. Daerah ini berkembang setelah Malaka
direbut oleh orang-orang Portugis pada 1511, tetapi memudar dengan cepat
sebagai pusat perdangangan sejak Belanda mendirikan Batavia 1619.
Struktur
Sosial dan Ekonomi Agraria
Sudah umum diketahui bahwa
dalam masyarakat Agraris, tanah menjadi sumber utama produksi dan kekayaan, dan
pemilikan tanah berarti prestise yang tinggi. Oleh sebab itu, klasifikasi
tradisonal penduduk desa didasarkan kepada pemilikan tanah. Hak dan kewajiban
ditentukan atas dasar yang sama. Generalisasi ini memang berlaku disebagian
besar pulau Jawa pada abad Ke-19, tetapi di Banten kaitannya diragukan dalam
periode yang disoroti dalam studi ini. Selain pemilikan tanah, terdapat
berbagai faktor ekologis dan historis yang ikut berperan sehingga perkembangan
masyarakat pedesaan didaerah persawahan
dataran rendah yang statis khususnya cara penggunaan tanah organisasi sosial
khas Jawa tidak sampai kaku. Ada yang
mengatakan bahwa Banten “tidak mengenal pembedaan kelas”. Tentu saja
ungkapan itu lebih seperti stereotip daripada penilaian suatu situasi yang
dapat dipercaya. Akan tetapi, stereotip tersebut mungkin memiliki dasar dalam
realitas. Mari kita perhatikan lebih seksama struktur sosial Banten pada abad
Ke-19 dan ciri-ciri latar belakang agrarisnya.
Di Banten dengan ekonomi
agrarisnya, para penduduk desa bercocok tanam dan menanam padi, entah sebagai
pemilik tanah atau penggarap bagi hasil. Namun, hal yang mencolok adalah
sejumlah besar penduduk desa mencari nafkah dengan menjadi pedagang, nelayan
atau tukang, atau sebagai pengusaha Industri. Pada umumnya, sumber-sumber
penghasilan alternatif telah dikembangkan secara tradisonal. Contoh nyatanya
adalah apa yang dikenal dengan migrasi musiman ke Batavia atau lampung yang
didorong oleh adanya kekurangan tenaga kerja ditempat-tempat itu dan
perhubungan yang baik.
Seperti di kebanyakan
masyarakat agraris, ada dua fakta penting mengenai keadaan yang menentukan
kehidupan dan tenaga kerja didaerah pedesaan, yaitu yang menyangkut pemilikan
tanah dan penyewaan tanah disatu pihak, dan yang berkaitan dengan teknik
bertani dipihak lainya. Faktor-faktor itu sangat penting karena pada akhirnya
faktor-faktor tersebut menentukan siapa yang akan melakukan pekerjaan yang
diperlukan dan berapa besar bagian yang akan mereka peroleh hasilnya. Sistem
hak atas tanah di Banten pada Ke-19 berasal dari zaman kesultanan meskipun
sistem tersebut sudah mengalami banyak perubahan akibat gangguan pemerintahan
kolonial.
Dikatakan bahwa kolonisasi
yang dipimpin oleh para penakluk muslim dari Demak dan Cirebon itu mengunakan
tekhnikk bertani yang baru secara besar-besaran, yakni menanam padi disawah.
Adapun sawah-sawah yang dinamakan sawah
negara sepertinya merupakan sawah-sawah yang paling tua. Petani-petani yang
menggarap sawah negara atau tanah
milik Sultan terbagi mejadi dua katagori : Mardika, orang – orang yang diberi
status sebagai orang merdeka karena telah menyatakan tunduk kepada kepada kaum
penakluk dan memeluk agama Islam, dan Abdi, yang ditaklukan dengan
kekerasan dan dijadikan budak.
Sawah negara sebenarnya
adalah semua sawah yang dibuka atas perintah sultan atau pemilik lungguh dan yang
dimiliki oleh sultan. Meskipun demikian, bagi sultan, memiliki tanah saja tidak
cukup. Tanah itu tidak menghasilkan keuntungan, kecuali jika digarap. Oleh
karena itu, ia lalu menghadiahkan tanah atau hak penggunaanya sebagai imbalan
atas tenaga kerja. Sawah negara yang dibagikan kepada petani dengan syarat
mereka harus menggarapnya dan membayar upeti kepada sultan sebesar sepersepuluh
dari hasilnya.
Karena fungsi sultan
sebagai pelindung menyebabkan ia memiliki kendali ekonomi, mobilisasi produksi
digunakan untuk menunjang rumah tangganya, keluarganya dan para pejabat negara.
Mereka mengandalkan pendapatan mereka tidak hanya kepada pungutan pajak
perdagangan, tetapi juga kepada hasil pertanian didaerah-daerah pedesaan.
Tampaknya ada suatu kebiasaan lama yang dapat dijumpai dinegara-negara
birokratis agraris : pembagian tanah diantara para pelayan pribadi sang raja,
pejabat-pejabat rumah tangga, kerabat, orang-orang kesayangan selalu terjadi
setelah penaklukan sebuah daerah dan pembentukan sebuah negara.
Pembagian tanah (hibah)
dinamakan sawah ganjaran atau pusaka laden atau pecaton.
Istilah yang dipakai berbeda-beda sesuai dengan orang yang menerima hadiah itu,
seperti :
- Kawargaan, jika tanah yang diberikan kepada anak-anak sultan dari istri-istrinya yang sah;
- Kanayakan, apabila tanah yang diberikan kepada anak-anak sultan dari selir-selirnya atau kepada orang kesayangan sultan;
- Pangawulaan, tanah yang dihadiahkan kepada pejabat-pejabat yang mengunakan hasilnya untuk mebiayai hidup mereka selama masa jabatan mereka.
Adapula disebut dengan sawah yasa, tanah-tanah bukaan baru
dimana ini lakukan oleh mereka yang mendapatkan tanah hibah dari sultan dengan
cara kerja bakti. Pembukaan tanah ini tidak saja dipandang sebagai peningkatan
pendapatan mereka namun untuk memperoleh tanah sebagai hak milik penuh. Bagi
petani biasa juga bisa menggarap sawah
yasa karena adanya keuntungan dari menggarap sawah.
Pendorong lainya mungkin
terletak pada kenyataan bahwa para penggarap sawah yasa harus menyerahkan upeti kepada sultan atau orang yang
dihadiahi tanah itu sebagai tanda pengabdian. Upeti ini dinamakan pakukusut
dan jumlahnya lebih sedikit daripada lelanjan yang
dipunggut dari penggarap sawah negara.
Pada 1808, Daendels
menghapuskan tanah-tanah milik sultan serta kerja wajib yang melekat pada
tanah-tanah itu, lalu memunggut seperlima bagian dari hasil panen sebagai pajak
tanah untuk seluruh dataran Banten. Beberapa tahun kemudian, Raffles menjadikan
sewa tanah sebagai satu-satunya pajak tanah. Para pemegang hak tanah pusaka menerima ganti rugi atas
kehilangan pendapatan dari upeti dan kerja wajib, sedangkan para pemilik sawah yasa tetap berhak atas pakukusut mereka. Meskipun demikian,
ketentuan tersebut memicu terjadinya kesewenang-wenangan yang serius. Seiring berjalanya waktu, hak warisan
atas sawah negara, baik pusaka maupun pecaton dan sawah yasa
menjadi sumber korupsi dan penyelewengan di kalangan pamong praja.
Jelaslah bahwa para
kerabat sultan dan pejabat kesultanan pihak yang paling diuntungkan oleh sistem
lama cenderung menghendaki kembalinya kebiasaan tradisional dan karena itu
berusaha mempertahankan hak-haknya meskipun sudah mendapatkan ganti rugi.
Selain itu orang-orang yang telah dihibahkan tanah oleh sultan dengan gigih
menentang diberlakukannya ketentuan yang ditetapkan Daendels karena hal itu
juga akan membuat mereka kehilangan banyak pengaruh politik. Akibanya,
ketentuan-ketentuan tersebut telah menimbulkan banyak rasa tidak puas, dan
itulah yang dianggap sebagai kerusuhan di Banten sampai 1830.
Sejak semula, pemerintah (Baca:
pemerintahan belanda) dihalang-halangi untuk memperoleh informasi yang
sebenarnya perihal keadaan tanah-tanah kesultanan sehingga para penerima hibah
tanah dapat terus mengutip upeti tradisional. Dengan demikian, rakyat mendapat
kesan bahwa pemungutan berganda itu telah mendapat persetujuan pemerintah. Akibatnya,
timbul satu situasi dimana segala kesalahan dilimpahkan kepada pemerintah. Sebenarnya ada satu peluang lain untuk memanfaatkan
ketidaktahuan rakyat biasa. Seiring berjalanya waktu, rakyat sulit
mengetahui apakah tanah yang telah dibuka dengan kerja wajib itu diperuntukan
bagi negara atau penerima hibah tanah.
Sawah yang dianggap
sebagai sawah negara oleh para penggarapnya,
diakui sebagai sawah yasa oleh para
penerima hibah tanah dengan segala hak yang melekat padanya. Sesudah kekuasaan
beralih ketangan Belanda, hak milik sawah
negara dipegang oleh penggarapnya, tetapi upeti yang tadinya dipungut oleh
sultan atau para penerima hibah tanah kemudian dipungut oleh pemerintah dalam
bentuk sewa tanah. Sementara itu, pihak yang memegang hak milik atas sawah yasa berhak untuk mengutip pakukusut dari penggarapnya. Di sini timbul konflik kepentingan yang
mencekam masyarakat Banten sampai meletusnya pemberontakan. Beberapa kasus
akan menjelaskan situasi konflik yang berlangsung lama itu. Laporan mengenai
hak atas tanah di Banten pada 1870 memberikan gambaran yang jelas mengenai
kasus-kasus di Banten Utara.
Konflik
Mengenai Hak Tanah
Sebuah contoh mengenai
pemilikan secara tidak sah atas sawah
negara oleh pamong praja atau kerabat mereka.
Kasus Kubanglaban Kidul,
Kliwon serang berdalih telah menerima sawah
pusaka dari ayahnya Raden Saca dan menuntut hak mengukutip pakukusut, namun tidak ada bukti untuk
memperkuat tuntutanya. Pada 1866 tanah tersebut sebagai sawah yasa sedangkan catatan sebelumnya sebagai sawah negara. Untuk menghindari konflik,
Bupati Serang memerintahkan para penggarap sawah untuk membayar pakukusut.
Kasus Desa Klangan
beberapa kerabat kliwon tetap mempunyai hak untuk mengutip pakukusut dari penggarap sawah tertentu yang diakui sebagai sawah
yasa milik para kerabat Kliwon.
Kasus Badamusalam, pada
1826, sekitar 25 bau dari 90 bau sawah negara digarap oleh penduduk desa,
sedangkan sisanya ditelantarkan karena banyak yang sudah meninggal dan lainya
telah meninggalkan desa. Dari sawah yang digarap sebanyak 5 bau sudah diberikan
kepada jaro dan pengiwa selama hampir 30 tahun. Pada tahun 1858, ayah jaksa kepala,
Aria Nitidiwiria, menyatakan bersedia menggarapnya atas dasar bagi hasil dengan
mereka. Alasanya adalah bahwa ia hendak memanfaatkan tanah yang terlantar itu
untuk sementara waktu, selama rakyat belum mampu menggarapnya sendiri. Enam
tahun kemudian, permintaan rakyat agar tanah itu dikembalikan kepada mereka
ditolak mentah-mentah oleh jaksa kepala. Akhirnya, seorang demang dengan seizin
bupati Serang, mengambil alih 30 bau. Karena alasan yang bersifat takhayul 15
bau dibiarkan terlantar.
Kasus Pangeran Khalzie,
selama periode kesultanan rakyat Tras diwajibkan membayar upeti kepada sultan
sebanyak dua sanga untuk tiap caeng. Pangeran Khalzie yang bertindak sebagai
kuasa sultan mencoba mengukutip dua sanga untuk tiap bau, tetapi rakyat hanya
bersedia membayar dua sanga untuk dua belas bau. Setelah Pangeran Khalzie
meninggal rakyat tidak lagi membayar pungutan itu karena dua hal : pertama sewa
tanah sementara itu sudah diberlakukan dan kedua peungutan tersebut merupakan
hak yang diberikan oleh sultan kepada Pangeran pribadi. Bupati Serang,
RA.Mandura Raja Jayanegara menawarkan untuk menyediakan sejumlah bibit dan
kerbau yang diperlukan untuk menggarap sawah itu, serta untuk membayar sewa
tanahnya, dengan syarat ia menerima separuh dari hasil panennya. Rakyat menerima
tawaran itu untuk jangka waktu tiga tahun dengan alasan bahwa mereka tidak
mempunyai biaya untuk mengarap tanah mereka meningat daerah itu sedang dilanda
kekurangan makanan. Selain itu mereka juga takut kepada Bupati Serang,
RA.Mandura Raja Jayanegara kemudian digantikan oleh R.A.A.Condronegoro yang
menuntut pungutan sebanyak separuh hasil panen karena ia menganggap sawah-sawah
itu sebagai milik pribadinya. Pada tahun 1865 istrinya menjual sawah-sawah itu
kepada Demang Trumbu. Hal ini mengakibatkan penduduk desa sejak itu menolak
setiap tuntutan diajukan oleh bupati. Sebenarnya rakyat hanya mengakui dua
belas bau sebagai pemilik pribadi Pangeran Khalzie. Lagipula menurut silsilah
Banten ahli waris sultan yang paling langsung adalah sultan Alih dan bukan
istri Bupati, Ratu Siti Aminah.
Penjelasan mengenai
kasus-kasus diatas mengungkapkan beberapa aspek perubahan terjadi dalam
perekonomian agraris Banten. Pertama : hubungan dengan kaum petani dan elite
sudah dibumbui dengan sejumlah konflik dan bentrokan kepentingan. Kedua hal itu
sering terjadi dan timbul akibat pembaruan-pembaruan yang diadakan dalam
perekonomian agraris. Kedua : perpecahan sosial itu diperburuk oleh beberapa
persoalan lainya yang berhubungan dengan kerja wajib dan melekat pada
perekonomian tradisional serta tidak dapat dipisahkan dari pemilikan tanah. Ketiga
: efek-efek yang mengganggu dari penetrasi ekonomi uang sudah mulai dirasakan,
serta mengakibatkan pemindahan dan pemusatan pemilikan tanah.
Belum usai....
[1]
Ditulis ulang oleh Aryo Nugroho
dengan tujuan mempelajari sejarah serta menjadi wujud dukungan yang mendalam
tentang sejarah masyarakat Indonesia sebagai bahan studi maupun pemantapan
Ideologi gerakan.